Selamat Datang

Wednesday, September 19, 2012

SKP AKAN GANTIKAN DP-3 PEGAWAI NEGERI SIPIL


SELAMAT TINGGAL DP3 !!!!!
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tujuannya untuk meningkatkan prestasi dan kinerja PNS. PP ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 30 November 2011, dan akan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar menyambut baik terbitnya aturan tersebut. Dengan adanya ketentuan tersebut, diharapkan berdampak pada pelayanan publik di setiap birokrasi pemerintahan, selain itu untuk mempermudah mengukur kinerja (www.bkn.go.id).
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 ini menggantikan  Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Daftar Penilaian Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3). DP-3  adalah suatu daftar yang memuat hasil penilaian pekerjaan seorang pegawai dalam jangka waktu satu tahun.
Kelemahan dari DP3 ini adalah tak ada tolok ukur yang bersifat kuantitatif. Unsur yang masuk dalam penilaian masih bersifat kabur, tidak jelas, dan terlalu normatif. Prestasi kerja misalnya, selama ini tidak ada tolok ukur yang jelas untuk membedakan antara pegawai yang memiliki kompetensi dan yang tidak memiliki kompetensi. Kegagalan DP3 sebagai alat ukur kompetensi PNS menunjukkan bahwa pelaksanaan DP3 hanya formalitas belaka.
DP3 praktis hanya menjadi alat kelengkapan administratif belaka. Daftar nilai yang tercantum di dalamnya tidak mencerminkan realitas sebenarnya. PNS yang rajin dan yang malas, tidak memiliki perbedaan nilai yang berarti. Peningkatan kinerja seorang PNS tidak dengan sendirinya memperoleh penghargaan dalam DP3.
Sebaliknya, penurunan kinerja seorang PNS tidak dengan sendirinya terekam dalam DP3. Sebab, ada semacam kesepakatan tidak tertulis, kenaikan DP3 tidak hanya diberikan ketika seorang PNS mengajukan proses kenaikan pangkat. Jadi, seorang PNS yang memiliki kompetensi atau tidak, akan memperoleh kenaikan nilai DP3 sepanjang untuk proses kenaikan pangkat.
Anehnya lagi, DP3 seorang PNS sembilan puluh sembilan persen juga tidak akan pernah mengalami penurunan apa pun yang terjadi. Jika ada peristiwa penurunan nilai tentu akan menimbulkan kehebohan tersendiri karena merupakan peristiwa langka. Peristiwa langka ini baru saja terjadi di Puskesmas Ngrampal Kabupaten Sragen.
 Sebagaimana diberitakan oleh Harian Joglosemar, 28 Februari 2012, delapan belas PNS yang mengalami penurunan nilai DP3, menyatakan tidak terima dengan penilaian atasan. Sementara itu, kepala puskesmas beralasan bahwa nilai yang diberikan pada tahun sebelumnya terlalu tinggi. Kejadian ini merupakan akibat dari ambiguitas DP3 sehingga sangat rentan mengalami tafsir ganda.
Kenyataan empirik menunjukkan proses penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS cenderung terjebak ke dalam proses formalitas. DP3-PNS dirasa telah kehilangan arti dan makna substantif, tidak berkait langsung dengan apa yang telah dikerjakan PNS. DP3-PNS secara substantif tidak dapat digunakan sebagai penilaian dan pengukuran seberapa besar produktivitas dan kontribusi PNS terhadap organisasi. Seberapa besar keberhasilan dan atau kegagalan PNS dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Penilaian DP3-PNS, lebih berorientasi pada penilaian kepribadian (personality) dan perilaku (behavior) terfokus pada pembentukan karakter individu dengan menggunakan kriteria behavioral, belum terfokus pada kinerja, peningkatan hasil, produktivitas (end result) dan pengembangan pemanfaatan potensi.
Beberapa tinjauan terkait dengan implementasi DP-3 PNS selama ini, proses penilaian lebih bersifat rahasia, sehingga kurang memiliki nilai edukatif, karena hasil penilaian tidak dikomunikasikan secara terbuka. Selain itu, pengukuran dan penilaian prestasi kerja tidak didasarkan pada target goal (kinerja standar/harapan), sehingga proses penilaian cenderung terjadi bias dan bersifat subyektif (terlalu pelit/murah).
Untuk mengatasi aneka kelemahan yang ada pada DP3, maka BKN merumuskan  metode baru dalam melihat kinerja PNS melalui pendekatan metode SKP (Sasaran Kerja PNS) sebagaimana diatur dalam PP Nomor  46 Tahun 2011. Melalui metode ini, penilaian prestasi kerja PNS secara sistemik menggabungkan antara penilaian Sasaran Kerja Pegawai Negeri Sipil dengan penilaian perilaku kerja. Penilaian prestasi kerja terdiri dari dua unsur yaitu SKP dan Perilaku Kerja dengan bobot penilaian unsur SKP sebesar 60 % dan perilaku kerja sebesar 40 % .
Penilaian SKP meliputi aspek-aspek: Kuantitas, Kualitas, Waktu, dan/atau Biaya. Sementara Penilaian perlaku kerja meliputi unsur: Orientasi Pelayanan, Integritas, Komitmen, Disiplin, Kerjasama, dan Kepemimpinan. SKP ditetapkan setiap tahun pada bulan Januari dan digunakan sebagai dasar penilaian prestasi kerja.
Selain melakukan Kegiatan Tugas Jabatan yang sudah menjadi tugas dan fungsi, apabila seorang pegawai memiliki tugas tambahan terkait dengan jabatan, maka dapat dinilai dan ditetapkan menjadi tugas tambahan. PNS yang melaksanakan tugas tambahan yang diberikan oleh pimpinan/ pejabat penilai yang berkaitan dengan tugas pokok jabatan, hasilnya dinilai sebagai bagian dari capaian SKP.
Selain tugas tambahan, PNS yang telah menunjukkan kreatifitas yang bermanfaat bagi organisasi dalam melaksanakan tugas pokok jabatan, hasilnya juga dapat dinilai sebagai bagian dari capaian SKP.
Konsep SKP ini sebenarnya cukup bagus. Namun, penulis masih menyimpan tanda tanya besar apakah kelak wacana SKP ini sama dengan wacana SKI (Sasaran Kerja Individu) pada tahun 2005. SKI berisi daftar target kerja yang harus dikerjakan dan  diselesaikan PNS dalam waktu tertentu. Nasib SKI sampai saat ini tidak jelas, hingga munculnya wacana SKP.
SKP sebagai instrument untuk mengukur dan melahirkan PNS yang berkompeten perlu menjawab tantangan berikut ini agar tidak bernasib sama dengan DP3. Pertama, impersonalitas, yaitu tidak memandang siapa yang bekerja melainkan  apa yang sudah  dikerjakannya. Saat ini, DP3 sangat kental nuansa “kemanusiaannya”. Kemanusiaan sering menjadi pertimbangan utama, melebihi penegakan disiplin. Hal ini akan berakibat fatal bagi kualitas birokrasi. Mengapa ? Pelanggaran kecil yang dibiarkan akan terus tumbuh menjadi pelanggaran besar.
Kedua, tidak adanya sanksi yang tegas terhadap terjadinya pelanggaran dispilin. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS memang telah mengatur bahwa pemberhentian dengan hormat maupun tidak dengan hormat bisa dilakukan jika seorang PNS tidak masuk selama 46  hari kerja atau lebih. Selain itu, keterlambatan masuk kerja dan/atau pulang cepat dihitung secara kumulatif dan dikonversi 7 ½ (tujuh setengah) jam sama dengan 1 (satu) hari tidak masuk kerja.  Peraturan ini sampai hari ini masih menjadi macan kertas!
Ketiga, dominasi budaya formalitas. Budaya kerja birokrasi identik dengan gaya formalitas, sekedar menggugurkan kewajiban. Belum menyentuh aspek aplikasi dan kreasi kerja. Banyak para PNS yang hanya  duduk manis menjadi penonton saja melihat rekan kerjanya yang sedang bekerja keras. Ironisnya, yang berperilaku seperti  ini ada yang dari kalangan pejabat struktural yang meskipun sering dimutasi berulangkali tetap saja sulit mendapatkan kompetensi.
 Untuk lebih mengetahui tentang  penggantian DP-3 Pegawai Negeri Sipil Ke SKP silahkan DOWNLOAD PP No. 46/2011 di sini
Sekian dan Terima Kasih